Kamis, 28 Agustus 2008

VALIDITAS PENGGUNAAN CAPM DI DALAM MEMPREDIKSI RETURN SAHAM DI BEJ DENGAN DATA 3 TAHUNAN

Tujuan dari seorang investor di dalam melakukan suatu investasi adalah untuk memperoleh keuntungan/ profit yang diperoleh dari return (tingkat pengembalian). Namun, pada kenyataannya return dari suatu investasi adalah tidak pasti. Sehingga ketidakpastian dari investasi inilah yang disebut sebagai risiko, yang dapat diukur dengan menggunakan varian dari return. Jenis-jenis dari risiko ada dua macam, yaitu :

1. Risiko sistematis, yaitu suatu risiko yang dialami oleh semua jenis investasi tanpa terkecuali.

2. Risiko tidak sistematis, yaitu risiko yang hanya dialami oleh investasi tersebut, yang bias disebabkan oleh faktor manajemen.

Untuk mengatasi risiko yang muncul, maka biasanya seorang investor akan mengkombinasikan investasi yang dimilikinya ke dalam beberapa bentuk asset/ investasi yang dikenal dengan nama portofolio. Markowitz (1952) mengembangkan suatu bentuk diversifikasi yang efisien, yang bias menurunkan risiko tanpa menurunkan return portofolio. Markowitz menyarankan agar portofolio seharusnya adalah pengkombinasian asset-asset yang berkorelasi kurang dari positif sempurna agar dapat mengurangi risiko.

Ukuran yang dipakai dalam portofolio Markowitz adalah koefisien korelasi. Koefisien korelasi yang positif menunjukkan bahwa kedua asset bergerak searah, sedangkan koefisien negative menunjukkan bahwa kedua asset bergerak berlawanan. Apabila terdapat dua surat berharga yang returnnya sama tetapi risikonya berbeda, maka yang dipilih adalah risiko yang rendah. Sebaliknya bila dua surat berharga yang risikonya sama tetapi returnnya berbeda, maka yang dipilih adalah yang returnnya tinggi.

Dalam dunia nyata, teori porfolio Markowitz tidak sesuai karena dalam kenyataannya para investor melakukan jual beli portofolio tidak semua dananya adalah modal sendiri. Ada investor yang memakai dana pinjaman utuk diinvestasikan portofolio, disamping itu ada investor yang meminjamkan dananya pada tingkat bunga tertentu terhadap investor lain. Tingkat pengembalian modal yang dipinjam dan dipinjamakan tersebut disebut dengan tingkat bebas risiko.

Sharpe (1965) menyempurnakan model portofolio Markowitz diambah dengan asumsi: (1) adanya tingkat bebas risiko; (3) investasi bisa dipecah-pecah dalam bentuk yang sekecil mungkin; (3) adanya kebebasan short sales (4) semua aktiva bisa diperjual belikan. Dengan demikian maka portofolio yang efisien suatu garis pasar modal (capital market line) yang intersepnya adalah tingkat bebas risiko (rf). Untuk mengambarkan trade-off antara risiko dan return untuk seluruh surat berharga, baik yang efisien maupun yang tidak, maka ukuran yang dipakai bukanlah varian, tetapi adalah risiko sistematisnya (β).Hubungan antara risiko sistematis dengan return tersebut apabila digambarkan dalam suatu model akan membentuk Capital Asset Pricing Model. Model tersebut bias dituliskan : E(Ri) = Rf + [ E(Rm) – Rf ] βi

Dimana E(Ri) adalah return yang diharapkan dari surat berharga i adalah fungsi dari risiko sistematisnya (β). Sedangkan slope/kemiringannya [E(Rm)-Rf] dinamakan dengan harga risiko atau premi risiko, yaitu selisih antara return pasar yang diharapkan (E(Rm)) dengan tingkat bebas risiko (Rf).

Namun demikian dalam kenyataannya akan senantiasa terdapat surat-surat berharga yang returnnya di luar yang diharapkan CAPM. Penyebabnya antara lain: (1) adanya biaya transaksi; (2) adanya pajak capital gain yang membuat para investor enggan menjual surat-surat berharga yang ternilai rendah oleh CAPM (undervalued); (3) adanya ketidaksempurnaan informasi pasar. Oleh karena itulah dalam kenyataannya CAPM lebih merupakan sebuah band daripada sebuah garis (Fuller & FarrellJr., 1987). Demikian pula apabila unsur tingkat bebas risiko (Rf) dihilangkan dari model, karena dalam kenyataan tidak mungkin investor bisa meminjam dan meminjamkan pada tingkat yang sama, maka akan membentuk Zero Beta CAPM (Elton & Gruber, 1991), dengan model sebagai berikut : E(Ri) = E(Rz) + [E(Rm)-E(Rz)]βi

Berbagai pengujian CAPM dengan data empiris telah banyak dilakukan. Pengujian oleh Black, Jansen dan Scholes, juga oleh Fama dan MacBeth menggabungkan saham-saham menjadi portofolio untuk menaksir β tiap-tiap portofolio, kemudian melakukan regresi cross sectional antara rata-rata return dengan β tiap-tiap portofolio. Ada juga pengujian yang menggunakan surat-surat berharga individual, misalnya oleh Linzerberger, Ramaswamy dan Gibbons.
Hasil pengujian tersebut rata-rata membuktikan bahwa: (1) intersep CAPM secara signifikan tidak sama dengan tingkat bebas risiko, hal ini membuktikan bahwa Zero Beta CAPM lebih berlaku di dunia nyata; (2) kemiringan/slope dari persamaan CAPM (a1) ternyata lebih rendah daripada yang diramalkan (Rm-Rf); (3) tidak ada bukti bahwa hubungan antara risiko sistematis dan return tidak linear, hal ini masih sesuai dengan spesifikasi CAPM; (4) Faktor-faktor selain β ternyata berperan di dalam menerangkan return surat berharga, misalnya P/E rasio, besar kecilnya perusahaan, jenis perusahaan, musiman dan sebagainya (Weston & Copeland, 1992).
Berbagai macam pengujian CAPM termasuk yang di Indonesia menunjukkan bahwa yang lebih berlaku adalah Zero Beta CAPM daripada standar CAPM, tetapi belum pernah diuji validitas kegunaannya untuk memprediksi return-return saham di masa depan. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk menggunakan persamaan CAPM empiris untuk menguji ketepatan prediksi terhadap naik turunnya return saham-saham individual satu tahun ke depan dengan data 3 tahun yang lalu.

Kesimpulan
Dari penelitian yang sederhana ini bisa disimpulkan bahwa penentuan jangka waktu 3 tahun untuk menaksir β tiap-tiap saham adalah cukup apabila dalam periode tersebut terdapat berbagai macam variasi kondisi pasar. Penggunaan CAPM di dalam memprediksi rata-rata return saham untuk satu tahun yang akan datang dengan menggunakan data empiris 3 tahun yang lalu terbukti mempunyai validitas yang cukup meyakinkan. Namun demikian apabila data empiris yang digunakan adalah tahun-tahun pada saat kondisi pasar penuh dengan ketidakpastian/gejolak yang tinggi, penggunaan CAPM di dalam memprediksi rata-rata return saham satu tahun ke depan masih diragukan. Variabel-variabel yang lain misalnya karakteristik jenis industri, P/E rasio, tingkat bunga di pasar uang, tingkat likuiditas saham, mungkin perlu diperhatikan.


Sabtu, 23 Agustus 2008

PENGARUH STRUKTUR KEPEMILIKAN PERUSAHAAN DAN TRANSAKSI DENGAN PIHAK-PIHAK YANG MEMILIKI HUBUNGAN ISTIMEWA TERHADAP DAYA INFORMASI AKUNTANSI


Governansi Korporat merupakan hubungan antar stakeholder yang digunakan untuk menentukan dan mengawasi arah dan kinerja stratejik organisasi. Digunakan dalam perusahaan untuk membuat tata kelola antara pemilik perusahaan dengan manajer puncak.

Struktur kepemilikan yang terkonsentrasi ini membawa pengaruh salah satunya adalah makin besarnya kemungkinan pihak pemegang saham mayoritas melakukan expropriation of assets. Expropriation of assets ini salah satunya melalui transaksi dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa (Related Party Transactions/RPT, untuk seterusnya dalam tulisan ini akan digunakan simbol RPT untuk transaksi dengan pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa).

Jatuhnya Enron berkaitan dengan adanya RPT dengan special purpose entity (SPE), dimana direktur dari SPE itu adalah juga CFO dari Enron (Wall Street Journal, 12 Desember 2001). Adelphia terlibat RPT dengan keluarga pemegang saham utama perusahaan untuk menggunakan hasil dana pinjaman bank atas beban perusahaan (Associated PressNewswires, 25 Juli 2002). Tyco juga melakukan transaksi RPT (Wall Street Journal, 13 September 2002).

Beberapa studi menunjukkan bahwa terdapat dua potensial agency problem yang berkaitan dengan kepemilikan, yaitu :
1. Agency problem antara manajemen dan pemegang saham (Jensen dan Meckling, 1976), yaitu terjadi jika kepemilikan tersebar di tangan banyak pemegang saham sehingga tidak satu pihakpun yang dapat atau yang mau mengontrol manajemen, sehingga hanya ada pihak manajemen yang relatif tanpa adanya kontrol untuk menjalankan perusahaan. Hal ini menyebabkan perusahaan bisa dijalankan sesuai dengan keinginannya manajemen sendiri.
2. Agency problem antara pemegang saham mayoritas dan minoritas (Shleifer dan Vishny, 1997), yaitu terjadi jika terdapat seorang pemegang saham memegang saham mayoritas dan beberapa pemegang saham lain yang kepemilikannya minoritas. Hal ini menyebabkan pemegang saham mayoritas memiliki kendali absolut sehingga dapat melakukan tindakan yang menguntungkan pemegang saham mayoritas tetapi merugikan pemegang saham minoritas.

Konsentrasi kepemilikan dapat membawa dua hipotesa yang berlawanan yaitu entrenchment hypothesis dan allignment hypothesis.
1. Entrenchment hypothesis, yaitu pemegang saham mayoritas yang secara efektif mengendalikan perusahaan, akan juga mengendalikan informasi akuntansi yang dihasilkan. Hal ini akan menurunkan kredibilitas informasi akuntansi yang dihasilkan bagi pasar. Akibat akhirnya adalah rendahnya hubungan antara angka-angka yang dihasilkan dari akuntansi dengan ukuran pasar.
2. Allignment hypothesis, yaitu konsentrasi kepemilikan akan membawa dampak adanya pemegang saham mayoritas yang akan berusaha meningkatan kredibilitas informasi akuntansi yang dihasilkan.

Mekanisme governansi korporat:
- Konsentrasi Pemilikan
- Dewan Direksi
- Kompensasi para eksekutif
- Struktur Organisasi Multidivisi
- Pasar untuk Kontrol Perusahaan

Kompensasi untuk para eksekutif:
- Adalah mekanisme governansi yang menyatukan kepentingan manajer & pemilik melalui gaji, bonus, kompensasi insentif jangka panjang.
- Keputusan Eksekutif adalah kompleks dan tidak rutin.
- Banyaknya faktor penghalang yang menyulitkan bagaimana keputusan manajerial secara langsung bertanggung jawab terhadap hasil yang dicapai.
- Selanjutnya, pemilikan saham (kompensasi insentif jangka panjang) membuat manajer lebih rentan terhadap perubahan pasar yang sebagian di luar jangkauan mereka.
- Sistem insentif tidak menjamin bahwa manajer membuat keputusan yang “benar”, tetapi meningkatkan kemungkinan manajer akan melakukan untuk sebuah penghargaan.

Hipotesis I: Disebabkan adanya dua hipotesa yang saling berlawanan, hubungan antara konsentrasi kepemilikan dan daya informasi akuntansi di Indonesia adalah an empirical issue.


Kendali Keluarga
Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan di Indonesia memiliki struktur kepemilikan yang terkonsentrasi dengan kendali keluarga yang dominan. Adanya expropriation yang signifikan oleh pemegang saham kendali keluarga, akan mempengaruhi pemilihan kebijakan akuntansi yang dipakai sesuai dengan kepentingan mereka. Hal ini tentunya akan mengurangi kredibilitas informasi akuntansi yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut.
Dalam hal konsentrasi kepemilikan oleh pihak di luar manajemen, Donelly dan Lynch (2002) menemukan bahawa konsentrasi kepemilikan oleh pihak di luar manajemn berhubungan negatif dengan contemporaneous price-earnings association di perusahaan-perusahaan di UK.

Hipotesis 2: Berdasarkan penelitian terdahulu (Claessens dkk., 2002a), konsentrasi kepemilikan oleh keluarga akan mengurangi daya informasi akuntansi.

Definisi Transaksi dengan Pihak-Pihak yang Memiliki Hubungan Istimewa
Yang termasuk dalam pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa adalah transaksi yang dilakukan dengan:
- perusahaan yang memiliki hubungan kepemilikan,
- perorangan sebagai pemilik atau karyawan yang mempunyai pengaruh signifikan,
- anggota keluarga terdekat dari perorangan tersebut, dan
- perusahaan yang dimiliki secara subtansial oleh perorangan tersebut.


H3: Transaksi dengan pihak-pihak memiliki hubungan istimewa mengurangi daya informasi akuntansi.

Metodologi Sampel dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data perusahaan Indonesia yang terdaftar di bursa efek Jakarta. Untuk meningkatkan generalisasi hasil, perusahaan Indonesia dari berbagai sektor industri dimasukkan dalam sampel kecuali perusahaan di sektor industri keuangan.
Control rights dan cash flow rights, Perbedaan antara kedua hal ini, seperti yang dijelaskan di dalam Claessens dkk. (2000), dijelaskan dengan contoh jika sebuah perusahaan terbuka A dimiliki oleh perusahaan terbuka B yang terbuka 21%, kemudian perusahaan B dimiliki oleh sebuah keluarga 11%, maka keluarga ini memiliki control rights atas perusahaan A adalah 11%, rantai kendali yang paling lemah. Sebaliknya, cash flow rights, keluarga tersebut atas perusahaan A adalah 2% yaitu hasil perkalian antara kedua persentase kepemilikan dalam rantai tersebut, 11% dikali 21%.